Sebuah benda yang bernama brosur pasti hampir semua orang sudah familiar dengan bentuknya dan fungsinya. Menurut Wikipedia, Brosur adalah terbitan tidak berkala yang dapat terdiri dari satu hingga sejumlah kecil halaman, tidak terkait dengan terbitan lain, dan selesai dalam sekali terbit. Halamannya sering dijadikan satu (antara lain dengan stapler, benang, atau kawat), biasanya memiliki sampul, tapi tidak menggunakan jilid keras. Menurut definisi UNESCO, brosur adalah terbitan tidak berkala yang tidak dijilid keras, lengkap (dalam satu kali terbitan), memiliki paling sedikit 5 halaman tetapi tidak lebih dari 48 halaman, di luar perhitungan sampul.
Menurutku, brosur adalah sebuah lembaran informasi yang disebarkan ke orang lain yang biasanya dilipat dan agak tebal. Kalau cuma selembar dan tipis, biasanya aku sebutnya flayer, hehehe. Bagi beberapa perusahaan yang mencoba memasarkan barang maupun jasa mereka, brosur masih menjadi salah satu senjata utama yang digunakan untuk memberikan informasi seputar produk barang dan jasa yang mereka pasarkan. Meskipun sudah ada internet dan catalog online, namun rasanya jika tidak ada brosur dalam perangkat senjata promosi, kayaknya belum afdol. Brosur bagi orang yang bekerja di bidang marketing seperti aku sudah hal yang sangat tidak asing. Dah pernah rasain yang namanya bikin content brosurnya sendiri, plan budgetnya sendiri, bikin design sendiri, order ke cetakan sendiri, ngelipetin sendiri, nyebarin brosur sendiri, dan juga udah pernah nyuruh atau minta tolong orang lain untuk bikin brosur, ngedesain, dan nyebarin brosur.
Yang paling bikin kesel biasanya kalo liat brosur yang dibuat sendiri dibuang sembarangan, kemudian diinjek-injek orang. Masih agak mending rasanya kalo, langsung dibuang ke tempat sampah, eh lho … Tapi ya tetep ada rasa kecewa. Oleh karena itu, aku berusaha untuk tidak membuang sembarangan brosur yang aku dapat tanpa membacanya terlebih dahulu. Aku pun kini selalu berusaha menerima jika ada orang yang kasih brosur di pameran maupun pusat keramaian. Karena aku dulu tau rasanya nyebarin brosur yang kadang bikin deg-deg an. Nyebarin brosur, buatku dulu awalnya adalah sebuah tantangan dan tes mental. Waktu masih kerja di Lampung dan Jakarta, sering disuruh nyebarin brosur di pintu masuk di beberapa mall disana karena waktu dulu sering buka stand atau bikin exhibition disana hampir setiap sebulan sekali.
Kalau ada orang yang kita sodorin brosur terus nolak halus masih mending lah. Tapi kalo pas bagiin brosur terus orangnya gak nengok ke kita dan cuek, rasanya agak kecewa-kecewa piye gitu. Hehehe. Tapi yang menyenangkan, kalo ada orang yang kita coba sodorin brosur terus dia terima dengan baik, dibaca bentar, terus nanya-nanya soal produk atau jasa yang kita tawarkan. Nah itu dia yang ditunggu. Rasanya satu langkah sudah terlewati, tinggal nunggu step selanjutnya. Pokoke gak mau kalah sama mbak-mbak spg di stand sebelah yang kadang cuma tebar senyum udah gak perlu pakai brosur buat menginformasikan produk yang mereka promosikan.
Kalau ngomongin desain, brosur sekarang tentu saja semakin kreatif, komposisi warna yang menaruk dan kreasi bentuk yang terus berkembang, ada yang bentuknya eclipse, segitiga, bahkan brosur dengan gaya pop up. Material dan bahan yang digunakan pun semakin beragam menyesuaikan kebutuhan dan perkembangan teknologi production printing. Dan tentu saja konten atau isi brosur pun semakin kreatif, dibuat dengan gaya-gaya bahasa marketing yang sederhana namun menggelitik, menarik, dan kreatif. Semua hal tersebut biasanya menyesuaikan segmentasi dan target market dari produk yang dipasarkan.
Cara menyampaikan brosurnya pun semakin beragam, ada yang door to door dari rumah ke rumah, ada yang membagikan langsung satu persatu ke semua orang di pusat-pusat keramaian, ada yang dikirim lewat pos bersama surat penawaran, ada juga yang diletakkan di tempat-tempat tertentu yang dianggap strategis dengan harapan akan ada orang yang mengambil dan membacanya, ada juga yang bagiin brosur dengan melihat tampilan luar orangnya dulu, baru deh didekati untuk ditawari ngeliat brosurnya, dan masih ada juga yang benar-benar menyebarkan brosur dengan arti sebar yang sebenarnya dari gedung tinggi maupun sambil berkendara dengan mobil tanpa memperhatikan ada orang yang membacanya atau tidak dan jumlah brosur yang tersedia. Meski teknologi digital berkembang pesat di Indonesia, namun aku rasa brosur masih akan menjadi salah satu senjata pemasaran yang cukup tajam.