BLBI

Thursday, November 12, 2009

Dulu waktu awal krisis ekonomi , aku sering denger tentang kata BLBI . Tp aku sendiri ga tau apa itu BLBI. Nah, kmrn tiba-tiba ada temenku yg dapet buku tebal tentang BLBI. Penulisnya orang-orang ekonomi dan politik yang sering nongol di tv. Tp aku ga baca semua halamannya, tebel bgt. Jd cm baca awalnya dan akhirnya. Bab I sebagai awal dari buku ini menjelaskan tentang BLBI itu sendiri. Kebijakan pengucuran BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) oleh pemerintah tidak dapat dilepaskan dari kondisi ekonomi yang sedang dalam krisis dan secara cepat menjalar ke berbagai sektor perekonomian di Indonesia saat itu, khususnya sektor perbankan. Krisis bermula dari krisis ekonomi secra umum terjadi pada negara-negara Asia di tahun 1997. Diawali dengan terpukulnya nilai rupiah terhadap dollar, menyusul jatuhnya Baht di Thailand. Hal ini memicu aksi para spekulan mata uang untuk menyebar dan menghantam Malaysia, Korea,Filipina, dan Indonesia.

Begitu besar kontribusi aksi spekulan terhadap krisis, sehingga dinyatakan krisis ekonomi yang terjadi tahun 1997 di sejumlah wilayah Asia berakar pada terdepresinya nilai mata uang lokal (rupiah untuk kasus Indonesia) terhadap dollar Amerika sebagai akibat dari permainan para spekulan.

BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) merupakan fasilitas yang diberikan BI untuk menjaga kestabilan sistem pembayaran dan sektor perbankan agar tidak terganggu karena ketidakseimbngan antara penerimaan dan penarikan dana pada bank-bank, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Berdasarkan definisi tersebut dapat dipahami dua hal pokok yaitu pertama BLBI merupakan sebuah fasilitas khusus yang diberikan BI kepada pihak perbankan. Kedua, pemberian BLBI dimaksudkan untuk menanggulangi masalah yang dihadapi perbankan akibat adanya ketidakseimbangan antara dana yang diterima dengan kewajiban pembayaran yang harus dikeluarkannya.

Terdapat lima jenis fasilitas perbankan yang digolongkan sebgai BLBI, yaitu antara lain :
• Fasilitas dalam rangka mempertahankan kestabilan sistem pembayaran yang bisa terganggu karena adanya missmatch atau kesenjangan antara penerimaan dan penarikan dana perbankan.
• Fasilitas dalam rangka operasi pasar terbuka sejalan dengan program moneter (surat berharga pasar uang/SBPU) lelang dan bilateral.
• Fasilitas dalam rangka penyehatan perbankan atau kredit likuiditas darurat dan kredit subordinasi.
• Fasilitas untuk mempertahankan kesatbilan perbankan dan sistem pembayaran sehubungan dengan terjadinya rush dalam bentuk penarikan cadangan wajib (Giro Wajib Minimum/GWM) atau adanya saldo negatif (saldo debet atau everdraft) bank di BI. .
• Fasilitas untuk mempertahankan kepercayaan masyarakat pada perbankan dalam bentuk dana talanagn untuk membayar kewajiban luar negeri bank dan untuk pelaksanaan sistem penjaminan.

Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa BLBI adalah bantuan pinjaman dana yang diberikan BI kepada sejumlah bank yang mengalami krisis likuiditas atau krisis persediaan uang saat terjadinya krisis moneter pada tahun 1997. Bantuan dana itu terutama disalurkan melalui mekanisme yang disebut kliring, yaitu penalangan yang dilakukan BI terhadap pembayaran kewajiban-kewajiban bank yang tidak mampu melunasi kewajibannya. Dengan demikian, melalui pengucuran BLBI, bank-bank dibantu untuk dapat memenuhi kewajiban-kewajiban pembayarannya kepada pihak ketiga, khususnya nasabah.

Pengucuran BLBI merupakan implementasi dari salah satu langkah ketahanan ekonomi nasional yang dip[utuskan dalam rapat kabinet 3 september 1997 di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Langkah ketahanan ekonomi nasional yang dimaksud dalah keputusan bahwa bank-bank nasional yang sehat namun mengalami kesulitan likuiditas untuk sementara akan dibantu dan bank-bank yang secara nyata tidak sehat diupayakan penggabungan atau akuisisi dengan bank-bank lain yang sehat. Jika upaya itu tidak berhasil, akan dilikuidasi sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dengan mengamankan semaksimal mungkin kepentingan para deposan, terutama deposan kecil.
BLBI dikucurkan dalam beberpa tahap yaitu tahap pertma ketika dilakukan pengucuran dana kepada 54 bank nasional yang dilakukan pada kurun waktu krisis sekitar September 1997. Tahap kedua terjadi pada kurun waktu Febuari 1999 hingga Mei 1999. Tahap selanjutnya adalah melalui program penjaminan perbankan yang disebut dengan blanket guarantee.

Setelah tiga tahapan penyaluran BLBI tersebut, suntikan dana ke pihak perbankan dilanjutkan melalui program rekapitulasi perbankan. Walaupun dinyatakan terpisah dengan kasus BLBI, namun pada hakikatnya program ini merupakan kelanjutan dari pengucuran BLBI sebagai bagian tak terpisahkan dari rangkaian kebijakan penyelamatan perbankan di saat krisis. Dalam jumlah uang negara yang dikeluarkan, program rekapitulasi perbankan bahkan menghabiskan uang yang jauh lebih besar. Untuk program ini pemerintah menyuntikan dana berupa obligasi atau surat utang( dikenal dengan obligasi rkapitulasi/OR) sekitar Rp 431,6 triliun kepada pihak perbankan. Penerbitan obligasi dikeluarkan pemerintah karena pemerintah tidak memiliki dana tunai untuk menyetorkan modal dalam bentuk uang kepada bank-bank rekap. Namun akibatnya, pemerintah harus menyisihkan dana setiap tahunnya dari APBN untuk membayar pokok dan bunga obligasi rekap pada perbankan.

Ditambah dengan bunga yang harus dibayarkan, jumlah total uang yang harus dikeluarkan pemerintah dalam program ini paling sedikit mencapai nilai Rp1031 triliun. Jumlah ini akan kian membangkak jika pemerintah melakukan pengunduran jadwal atas pembayaran pokok maupun bunga obligasi tersebut. Skenario paling buruk, nilai total obligasi rekap yang harus dibayarkan pemerintah mencapai Rp 2000 triliun.

Pada kenyataannya, pengucuran obligasi rekap memang berdampak pada peningkatan kinerja beberapa bank penerimanya. Hal ini terutama karena bank-bank tersebut memperoleh pendapatan rutin dari obligasi pemerintah. Namun yang perlu dicatat dan cukup disesalkan laba yang diperoleh perbankan itu harus dibayar mahal oleh seluruh rakyat Indonesia melalui beban pembayaran obligasi rekap tiap tahunnya dalam APBN.
Persoalan lebih serius muncul ketika bank-bank yang telah menerima kucuran obligasi rekap dari pemerintah tersebut kemudian satu demi satu dijual dengan harga yang jauh di bawah nilai asetnya. Hal ini terjadi karena pada saat dilaksanakannya divestasi atau penjualan atas bank-bank rekap, bank yang bersangkutan masih memiliki obligasi rekap dalam portfolio investasinya, yang nilainya berlipat-lipat lebih besar dibanding harga penjualannya. Contoh paling fenomenal dalam hal ini adalah kasus penjualan 51 % saham BCA yang memiliki tagihan obligasi rekap senilai Rp 60,9 triliun dengan harga Rp 5,3 triliun saja. Dan hal itu sangatlah merugikan negara.

Istilah BLBI untuk menggambarkan keseluruhan masalah yang dihadapi oleh bangsa kita beserta dampaknya yang cukup dahsyat agak menyesatkan. BLBI atau Bantuan Likuiditas Bank Indonesia kepada bank-bank yang sedang bermasalah atau menghadapi rush adalah sangat wajar, bahkan harus dilakukan. Bank Indonesia sebagai bank sentral berfungsi sebagai bank of the last resort harus memberikan bantuannya untuk menghentikan rush. Bab ini lebih banyak mengulas mengenai pendapat Kwik Kian Gie (Mantan Menko Perekonomian RI ). Beliau menuliskan bahwa kuangan negara Indonesia hancur karena beberapa hal, antara lain sebagai berikut.
1. Pakto dan Kelemahan Pengawasan
Yang merupakan kesalahan fatal adalah kebijakan BI yang mendahuluinya. Pertama, tentu liberalisasi perbankan yang kita kenal dengan nama Kebijakan Paket Oktober 1998 atau PAKTO. Liberalisasi ini menghasilkan ratusan bank yang berhasil menghimpun dana masyarakat dalam jumlah sangat besar yang dikelola sembarangan. Akibatnya banyak bank kalah clearing. Disinilah cikal bakal kesulitan yang kita hadapi. Bank yang kalah clearing tidak dihukum oleh BI, tetapi justru ditolong dengan likuiditas yang dinamakan Fasilitas Diskonto sampai berkali-kali.

2. IMF Beserta Kroninya
Ketika krisis moneter menimpa Indonesia tahun1997, dan kita minta bantun IMF, IMF melihat betapa dunia perbankan telah rusak berat. Namun kerusakan ini tidak diketahui oleh masyarakat, karena laporan keuangan dari bank-bank yang diumumkan masih dibuat bagus dan sehat. Dalam kondisi seperti ini, masih bisa diperbaiki secara diam-diam. Tetapi IMF melakukan kesalahan fatal yang merupakan titik awal dan serentetan blunder demi blunder yang semuanya didektekan oleh IMF dan dilaksanakan secara membabi buta oleh pemerintah Indonesia. Titik awal tersebut adalah ditutupnya 16 bank tanpa persiapan, sambil mengatakan bahwa bank-bank ini terlampau rusak sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan kalau masih dibolehkan beroperasi dan menerima simpanan dari masyarakat.

Akibatnya rush besar-besaran yang membuat BI terpaksa mengeluarkan dana sangat besar untuk menghentikannya yang kemudian notabenenya banyak yang disalahgunakan. Bank-bank yang sudah menjadi milik pemerintah karena konversi talangan BLBI ke dalam modal ekuiti harus disehatkan atas perintah dan dengan cara IMF, yaitu menginjeksi dengan surat utang negara yang dinamakan Obligasi Rekap (OR). Maksudnya untuk meningkatkan kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR) sampa menjadi 8% sesuai dengan ketentuan Bank for Internasional Settlement (BIS) di Swiss.
Bank-bank yang di dalamnya mengandung tagihan kepada pemerintah dalam jumlah yang sangat besar ini diharuskan dijual oleh IMF dalam waktu singkat dan harga berapa saja. Maka pemerintah memperoleh hasil penjualan bank dalam jumlah yang kecil, tetapi membyar kepada pemilik baru utangnya dalam bentuk OR beserta bunganya yang sampai sekarang dan entah sampai kapan merupakan sekitar 25% dari APBN kita setiap tahunnya.

3. BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia)
Para nasabah bank-bank lainnya yang tidak ditutup merasa sangat tidak aman, karena bagaimana mereka mengetahui bahwa banknya sehat. Maka terjadilah rush besar-besaran. Ketika ini terjadi, memang tidak ada pilihan lain kecuali menghentikannya dengan likuiditas berapa saja. Rush dihentikan dengan mengucurkan dana sebesar Rp144 triliun. Jumlah ini adalah talangan dari BI kepada bank-bank yang terkena rush. Dipastikan bank-bank itu tidak mungkin mampu membayarnya kembali. Maka dikonversilah menjadi modal ekuiti. Dengan demikian bagian terbesar atau bahkan 100% dari modal ekuiti bank-bank swasta beralih ke tangan pemerintah.

Dengan beralihnya atau disitanya bank-bank ke tangan pemerintah, utang para pemilik bank dalam bentuk BLBI sudah lunas dibayar dengan kepemilikan banknya yang beralih ke tangan pemerintah. Dengan demikian masalah BLBI selesai. Pemerintah kehilangan uang sebesar Rp 144 triliun namun memperoleh kepemilikan banyak bank-bank swasta.

4. Obligasi Rekapitulasi Perbankan (OR)
Oleh IMF bank-bank ini dinilai rusak dalam berbagai tingkat keparahannya. Tindakannya ada bank ditutup, ada yang disehatkan dengan menyuntik surat utang negara khusus yang dinamakan Obligasi Rekapitulasi Perbankan, yang kita kenal dengan OR. Jumlahnya sangat besar, yaitu Rp 430 triliun. Kalau setiap lembar OR dibayar tepat waktunya, kewajiban pembayaran bunganya Rp 600 triliun per tahun. Ini beban tersendiri yang jauh lebih besar dari BLBI.

Setelah bank-bank swasta beralih menjadi milik pemerintah, ternyata bank-bank ini mempunyai tagihan dalam jumlah sangat besar kepada para pemiliknya, karena mereka menggunakan dana masyrakat yang dipercayakan dan dihimpun di dalam banknya untuk memberi kredit kepada dirinya sendiri. Muncullah tagihan pemerintah kepada para mantan pemilik bank. Jumlahnya pun sangat besar. Keseluruhannya diperkirakan sejumlah Rp 400 triliun lagi.

5. Utang Para Mantan Pemilik Bank Swasta
Para mantan pemilik bank tidak mampu membayarnya dengan uang tunai. Mereka membayarnya dengan perusahaanperusahaan dan aset-aset lainnya. Ketika dijual hanya menghasilkan sekitar 15% sampai 20% dari keseluruhan jumlah utang yang dimiliki. Sisanya kerugian pemerintah. Oleh pemerintah ketika itu dinyatakan wajar bahwa negara terkena krisis merugi sebesar itu. Namun publik berpendapat lain. Mereka mengetahui adanya salah urus dan manipulasi dalam skala besar. Maka masalah ini masih mengganjal sampai saat ini, yang sampai sekarang masih belum selesai ditangani oleh Kejaksaan Agung.

Indonesia mengeluarkan BLBI sejumlah sekitar Rp 144 triliun. Setelah itu menginjeksi bank-bank yang sudah menjadi milik negara yang eseluruhannya, jumlah pokoknya dan bunganya mencapai Rp 1.030 triliun. Pemerintah yang memiliki bank-bank harus merugi lagi dalam bentuk tagihannya kepada pemilik bank yang harus dibayar dengan perusahan-perusahaan dan aset-aset lainnya, yang ketika dijual hanya laku sekitar 20% saja.
Pemerintah menjual bank-bank yang di dalamnya mengandung tagihan-tagihan kepada dirinya sendiri dalam jumlah yang sangat besar dengan harga yang sangat murah kepada swasta, domestik maupun asing. Inilah garis besar kebijakan pemerintah Indonesia yang didikte IMF dan ternyata sangatlah merugikan bangsa.

You Might Also Like

1 comments

  1. Coba artikel seperti ini media ikut membantu memahamkan ke Masyarakat, tidak hanya kasus century saja yang dibahas/diobok2

    ReplyDelete