MASA DEPAN DEMOKRASI ISLAM

Tuesday, April 14, 2009


Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan. Katanya sendiri diciptakan oleh Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18 untuk mendefinisikan "sains tentang ide". Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, sebagai cara memandang segala sesuatu, sebagai akal sehat dan beberapa kecenderungan filosofis, atau sebagai serangkaian ide yang dikemukakan oleh kelas masyarakat yang dominan kepada seluruh anggota masyarakat (definisi ideologi Marxisme). Ideologi juga dapat didefinisikan sebagai aqidah 'aqliyyah (akidah yang sampai melalui proses berpikir) yang melahirkan aturan-aturan dalam kehidupan. Di sini akidah ialah pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan hidup; serta tentang apa yang ada sebelum dan setelah kehidupan, di samping hubungannya dengan sebelum dan sesudah alam kehidupan.

Dari definisi di atas, sesuatu bisa disebut ideologi jika memiliki dua syarat, yakni: ide yang meliputi aqidah 'aqliyyah dan penyelesaian masalah hidup. Jadi, ideologi harus unik karena harus bisa memecahkan problematika kehidupan. Metode yang meliputi metode penerapan, penjagaan, dan penyebarluasan ideologi. Jadi, ideologi harus khas karena harus disebarluaskan ke luar wilayah lahirnya ideologi itu. Jadi, suatu ideologi bukan semata berupa pemikiran teoretis seperti filsafat, melainkan dapat dijelmakan secara operasional dalam kehidupan. Menurut definisi kedua tersebut, apabila sesuatu tidak memiliki dua hal di atas, maka tidak bisa disebut ideologi, melainkan sekedar paham.

Dalam ilmu sosial, ideologi politik adalah sebuah himpunan ide dan prinsip yang menjelaskan bagaimana seharusnya masyarakat bekerja, dan menawarkan ringkasan order masyarakat tertentu. Ideologi politik biasanya mengenai dirinya dengan bagaimana mengatur kekuasaan dan bagaimana seharusnya dilaksanakan. Teori komunis Karl Marx, Friedrich Engels dan pengikut mereka, sering dikenal dengan marxisme, dianggap sebagai salah satu ideologi politik paling berpengaruh. Contoh ideologi yang lain misalnya anarkisme, kapitalisme, komunisme, komunitarianisme, konservatisme, neoliberalisme, demokrasi kristen, fasisme, monarkisme, nasionalisme, nazisme, liberalisme, libertarianisme, sosialisme ,dan demokrat sosial.

Ideologi yang nantinya mungkin akan berkembang pesat di berbagai belahan dunia adalah demokrasi Islam, terutama di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama muslim. Sebuah ideologi demokrasi namun dengan tetap mengacu pada ajaran Islam. Karena demokrasi merupakan sebuah sistem yang dianggap paling baik untuk saat ini sehingga menjadi dambaan hampir semua insan politik. Meskipun kemudian banyak mengalami pergeseran ke arah yang terlalu bebas dan tak bertanggungjawab. Kita ketahui bahwa negara-negara Islam di dunia banyak menggunakan sistem monarki, kesultanan, kerajaan atau secara turun menurun dalam pemilihan pemimpin atau khalifah. Tentu saja ini akan menjadi salah satu hambatan. Banyak orang mengira bahwa demokrasi sangat tidak cocok dengan Islam. Namun hal itu merupakan suatu pandangan yang salah, karena Islam sendiri juga mengajarkan tentang demokrasi.

Gerakan demokrasi di Timur Tengah misalnya, sebenarnya sudah lama muncul. Isu liberalisasi politik dan demokrasi semakin deras sebagai isu di Timur Tengah menyusul gelombang demokratisasi di Uni Soviet dan Eropa Timur. Pergolakan politik di Aljazair, sebagai akibat dihentikannya proses demokratisasi guna mencegah naiknya partai FIS (Front Islamique du Salut) ke tampuk kekuasaan, mendorong perdebatan masalah demokratisasi di Timur Tengah. Tuntutan terhadap pemerintahan yang lebih demokratis muncul di beberapa negara seperti Kuwait, Irak dan Arab Saudi. Padahal negara-negara Arab pada umumnya, kata Michael C Hudson adalah menganut system politik “a-demokratis” (untuk tidak menyebut “totaliter”, “otoriter” atau “dictator”). (Sihbudi, 1993:124). Pada umumnya rezim-rezim di dunia Arab meraih kekuasaan melalui dua alternatif: yakni pertama, karena warisan (monarki) seperti di Kuwait, Arab Saudi, dan sebagainya. Kedua, kudeta militer seperti di Irak dan Libya.

Krisis otoritarianisme yang melanda dunia ini ternyata tidak mesti mengarah pada pemunculan rezim-rezim demokrasi liberal. Meskipun demokratisasi muncul diberbagai belahan dunia seperti Eropa Timur, Amerika Latin, Asia Timur, akan tetapi revolusi liberal menyisakan sebagian wilayah tertentu seperti Timur Tengah yang relatif tidak tersentuh. Islam dipandang sebagai penghalang utama menuju demokrasi, sebagaimana ditunjukkan pada pemilu di Aljazair (1990), atau Iran pada periode lebih awal, demokrasi yang lebih luas tidak boleh menyebabkan liberalisasi yang lebih luas karena membawa pada kekuatan kaum fundamentalis yang berharap menciptakan bentuk teokrasi yang popular.(Fukuyama, 2001:87)

Sehingga menurut Huntington, tidak ada satu negarapun di dunia ini yang mayoritas penduduknya beragama Islam bisa dikategorikan sebagai negara demokratis. Dan jika demokratisasi berkembang di Timur Tengah justru cenderung memberikan peluang bagi kebangkitan “fundamentalisme” Islam. Seperti disinggung Samuel P. Huntington bahwa dewasa ini yang paling potensial menjadi kekuatan politik alternative , baik bagi rezim-rezim dictator militer maupun monarki absolute, di kawasan Timur Tengah, tidak lain dari kaum “fundamentalis”. Seperti terjadi di Aljazair, Kuwait, Libanon, Mesir dan mungkin Turki. (Huntington, 1991).

Mayoritas penduduk di Indonesia dan berbagai negara di Timur Tengah adalah beragama Islam. Oleh karena itu penting untuk dibahas keterkaitan antara demokrasi dan Islam. Banyak pengamat mengatakan tentang antitesis antara nilai-nilai demokrasi dan nilai-nilai Islam. Ada beberapa pendapat mengenai keterkaitan antara Demokrasi dan Islam. Jika yang dimaksud demokrasi adalah system pemerintahan yang bertolak belakang dengan kediktatoran, maka Islam sudah sesuai demokrasi, kata seorang intelektual Iran Hamid Enayat. Dalam Islam tidak mengenal pemerintahan oleh satu orang atau sekelompok orang. Dasar semua keputusan dan tindakan suatu negara Islam bukan keinginan atau kehendak individu, tapi Syariat, yang merupakan kumpulan aturan-aturan dari Al Qur’an dan Hadits.

Tradisi Yahudi-Kristen yang pernah mendukung absolutisme dan monarki, meskipun kemudian diinterpretasi kembali sesuai dengan ideal demokrasi. Nilai-nilai Islam juga memberi kemungkinan untuk banyak interpretasi, Islam juga dapat digunakan untuk mendukung demokrasi dan kediktatoran, republikanisme dan monarki. (Esposito, 1996:58). Nilai-nilai dan tradisi Islam dapat dipakai secara memadai untuk mendukung otritarianisme atau memobilisasi protes. (El-Affendi, 2002:227).

Menurut Al Maududi, Islam menggunakan istilah kekhalifahan, bukan kedaulatan. Kedaulatan hanya milik Tuhan, sehingga siapapun pemegang kekuasaan dan yang memerintah sesuai Hukum Tuhan pastilah merupakan khalifah dari Penguasa Tertinggi dan tidak akan berwenang mengerahkan kekuasaan apapun kekuali kekuasaan-kekuasaan yang telah didelegasikan kepadanya. (Esposito and Piscatori, 1991). Kata Maududi, dalam masyarakat seperti itu tidak ada ruang bagi kediktatoran seseorang atau sekelompok tertentu atas yang lainnya. Tidak ada hak istimewa bagi seorang atau sekleompok orang. Penguasa bertanggung jawab kepada Tuhan, sekaligus dimintai pertanggungjawaban oleh mereka yang mendelegasikan kekhalifahan mereka kepadanya. Imam Khomeini juga menolak kediktatoran dengan menyatakan bahwa pemerintahan Islam bukanlah tirani yang kepala negaranya dapat bertindak sewenang-wenang menggunakan harta dan nyawa rakyat sekehendaknya. Bahkan pernah melontarkan istilah “Islamic Democracy”.

Sedang menurut John L Esposito dan James P Piscatori menyatakan bahwa Islam pada kenyataannya memberikan kemungkinan pada bermacam interpretasi, Islam bisa digunakan untuk mendukung demokrasi mupun kediktatoran, republikanisme maupun monarki. Menurut Esposito dan Piscatori, dalam hubungan demokrasi dan Islam, terdapat tiga aliran. Aliran pemikiran yang berpendapat, bahwa Islam di dalam dirinya demokratis tidak hanya prinsip Shura (musyawarah), tapi juga karena konsep-konsep: ijtihad (independent reasoning) dan ijma’ (konsensus/permufakatan). (Enayat, 1988:201)

Aliran pemikiran yang menolak gagasan Islam dan demokrasi. Shaykh Fadlallah Nuri mengemukakan satu kunci gagasan demokrasi, persamaan semua warganegara adalah “imposible” dalam Islam. (Esposito and Piscatori, 1991:436). Sayyid Qutb menekankan bahwa sebuah negara Islam harus berlandaskan pada prinsip musyawarah sebagaimana tercantum dalam al Qur’an. Ia percaya syariat sudah sangat lengkap sebagai suatu system moral dan hukum, sehingga tidak diperlukan legislasi lain. Sedang Shaykh Muhammad Mutawwali al-Sha’rawi mengatakan Islam tidak bisa dipadukan dengan demokrasi. Sementara Ali Benhajd menegaskan bahwa konsep demokrasi harus digantikan dengan prinsipprinsip pemerintahan yang Islami. Para teoritisi politik Barat saja sudah mulai memandang demokrasi sebagai ”sebuah sistem yang cacat” (a flawed system). (Ibid. 436)

Aliran ketiga ini menyetujui prinsip-prinsip demokrasi dalam Islam, tapi lain pihak mengakui perbedaan diantara keduanya. Menurut Maududi, dalam demokrasi sekuler Barat, pemerintahan dibentuk dan diubah dengan pelaksanaan pemilihan umum. Demokrasi dalam Islam juga memiliki wawasan yang mirip, tetapi perbedaannya terletak pada kenyataan bahwa kalau di dalam system Barat suatu negara demokratis menikmati hak kedaulatan mutlak, maka dalam demokrasi kita kekhalifahan ditetapkan untuk dibatasi oleh batas-batas yang digariskan hukum Ilahi. (Maududi, 1990:243). Menurut Ghannousi, demokrasi, kedaulatan rakyat dan peranan negara-”negara bukan berasal dari Tuhan tetapi dari rakyat...negara harus memberikan manfaat bagi umat”- pemilihan umum multipartai, dan aturan konstitusi adalah bagian dari pemikiran ”Islam baru”. Mourou berpendapat bahwa undang-undang berasal dari Tuhan, tetapi kedaulatan ada di tangan rakyat.

Tentu saja jika ada wacana mengenai demokrasi Islam, maka negara yang paling menentang adalah Amerika beserta sekutu setianya. Amerika selalu melakukan antisipasi jika ada sesuatu yang menurut mereka dapat mengganggu stabilitas mereka di dunia. Seperti yang dilakukan terhadap China. Diakui atau tidak, sampai saat ini Cina masih merupakan satu-satunya negara Sosialis yang terbesar, terutama setelah runtuhnya Uni Soviet. Setelah reformasi Deng Xiopeng, Cina memang telah menganut ekonomi pasar, artinya dalam bidang ekonomi Cina telah melakukan reformasi, atau lebih tepatnya adaptasi Sosialisme dengan Kapitalisme, meski secara politik Cina tetap tidak berubah. Pendekatan yang dilakukan oleh Cina ini persis seperti yang pernah dilakukan oleh Amerika dekade 50-an abad ke-20 M, saat sejumlah penguasa pro-Amerika mengumumkan apa yang ketika itu dikenal dengan istilah State Socialism (Sosialisme Negara). Sebut saja, Gamal Abdul Naser (Mesir), dan Ahmed Ben Bellah (Aljazaer). Intinya, Kapitalisme dibalut dengan ide-ide Sosialisme. Nah, justru dengan adaptasi seperti ini, Cina telah menjelma menjadi kekuatan besar dengan pertumbuhan ekonomi yang luar biasa

Upaya Amerika untuk memukul Cina memang terus dilakukan, tetapi nyaris tidak berhasil. Perang Vietnam yang dilakukan oleh Amerika pada zaman Nixon, dengan maksud untuk memancing keterlibatan Cina dalam membela Vietnam, sehingga kelak bisa dijadikan sebagai justifikasi bagi Amerika untuk menggebuk Cina ramai-ramai ternyata telah dibaca oleh Mao Che Thung. Setelah itu, melalui penguasa Kamboja yang pro-Amerika, Norodom Sihanok, Amerika pun melakukan hal yang sama, tetapi gagal menyeret Cina. Peperangan itu pun akhirnya berhenti setelah Mao meninggal, dan diganti penguasa berikutnya. Ketika itu, Cina dianggap sebagai ancaman setelah melihat ambisi Mao untuk melakukan ekspansi ke luar. Berbeda dengan penggantinya. Maka, praktis tidak ada konflik besar yang menyeret Cina, seperti pada zaman Mao. Meski tidak berarti ancaman Cina telah pudar.

Maka, Amerika terus memprovokasi Taiwan agar menjadi duri di dalam daging bagi Cina. Secara politis, Amerika memang mengakui kebijakan One China, satu Cina, tetapi kenyataannya upaya-upaya Amerika secara terbuka melakukan kunjungan ke Taiwan, dan menerima kunjungan penguasa Taiwan di Amerika jelas membuktikan hal itu. Ditambah lagi kunjungan Clinton yang terakhir ke Taiwan, beberapa hari yang lalu. Semuanya itu, tidak lain adalah agar konflik Cina-Taiwan terus bergolak. Dengan begitu, Cina akan terus disibukkan dengan persoalan domestiknya, dan suatu ketika saat keinginan rakyat Taiwan bulat untuk memisahkan diri dari Cina, yang didukung dengan momentum yang tepat, maka semuanya itu akan menjadi justifikasi bagi Amerika untuk menyerang Cina. Cina juga begitu, terus-menerus meningkatkan kemampuan militernya, termasuk persenjataan nuklirnya guna menghadapi berbagai kemungkinan yang bakal terjadi, khususnya dalam menghadapi ancaman Amerika.

Pendudukan Amerika terhadap Afganistan juga telah dibaca Cina, sebagai situasi yang bisa mengancam keamanannya. Maka, Cina pun segera mengirim pasukan ke kawasan tersebut. Intinya, Cina memang merupakan ancaman real bagi Amerika. Ini semakin kelihatan, ketika Uni Eropa mencabut embargonya terhadap Cina, maka kontan saja anggota Konggres Amerika mengancam akan mengembargo Uni Eropa. Sedangkan Uni Eropa dengan sikapnya anti pendudukan Amerika di Irak, khususnya Perancis, bukan berarti tidak setuju dengan tindakan Amerika, atau tidak mempunyai kepentingan terhadap Timur Tengah.

Yang diinginkan oleh Uni Eropa adalah, bahwa setelah posisi politiknya di dunia ketiga, khususnya dunia Islam, Uni Eropa lebih memilih sikap yang berlawanan dengan Amerika guna menarik simpati dunia Islam. Jika berhasil, maka sentimen anti-Amerika itu akan membuahkan perlawanan, yang pada akhirnya dunia Islam tidak lagi lari kepada Amerika tetapi ke Uni Eropa. Hal yang sama juga dilakukan oleh Uni Eropa terhadap Cina. Dalam kasus Cina, Uni Eropa ingin mengambil keuntungan ekonomi dan politik dari Cina dalam kasus pencabutan embargonya terhadap Cina.

Selama dunia Islam dan Indonesia khususnya tetap berpegang pada akar keislamannya, karena mayoritas penduduknya adalah Muslim, maka selama itu tetap akan menjadi ancaman potensial bagi Amerika dan negara-negara Barat yang lainnya. Ancaman potensial itu akan menjadi ancaman real, jika dunia secara keseluruhan bersatu dan menjelma menjadi kekuatan baru, yaitu ketika mereka (negara-negara Islam) berada di bawah satu payung negara Khilafah, seperti bentuk Uni Eropa namun dengan pemerintahan syariat Islam secara lebih demokratis, khalifah atau pemimpin yang dipilih secara demokratis, kehidupan yang tetap terjaga baik antara kaum mayoritas dan minoritas.

Mahatir Muhammad, dalam banyak kesempatan, baik ketika masih menjabat sebagai perdana menteri maupun setelah lengser, sering menyatakan keprihatinannya atas kondisi umat Islam dan dunia Islam saat ini. Intinya, Mahatir mendambakan persatuan umat Islam, agar umat ini menjadi kuat, meski barangkali Mahatir belum mempunyai gambaran yang real tentang persatuan seperti apa yang bisa mengubah potensi ummat Islam ini menjadi kekuatan raksasa. Artinya, kesadaran itu sudah ada, tinggal formatnya seperti apa nantinya. Mungkin demokrasi Islam akan menjadi format pilihan umat muslim.

Demokrasi Islam tidak bisa ditegakkan tanpa dua syarat. Pertama, dukungan populer atau masyarakat bawah. Di sini peran ajaran Islam yang menjadi faktor penting dalam membentuk pandangan publik di sana amatlah vital. Demokrasi sebagai sistem politik harus mempunyai jangkar kultural dalam tradisi agama yang mengakar di masyarakat Muslim. Dengan demikian, demokrasi tidak bisa "ditanamkan" secara paksa dari luar atau "diimpor" dari Barat dan dipajang kepada publik di sana. Demokrasi harus berproses dari "dalam" meski faktor-faktor eksternal dan lingkungan internasional tetap berpengaruh. Home-grown democracy, demokrasi yang tumbuh di kebun sendiri, amatlah penting. 

#Disusun dari berbagai macam sumber untuk tugas kuliah. 

You Might Also Like

1 comments