Kepentingan Ekonomi Dalam Politik di Indonesia

Wednesday, February 23, 2011

Dalam perspektif sistem, sistem politik adalah subsistem dari sistem sosial. Perspektif atau pendekatan sistem melihat keseluruhan interaksi yang ada dalam suatu sistem yakni suatu unit yang relatif terpisah dari lingkungannya dan memiliki hubungan yang relatif tetap diantara elemen-elemen pembentuknya. Kehidupan politik dari perspektif sistem bisa dilihat dari berbagai sudut, misalnya dengan menekankan pada kelembagaan yang ada kita bisa melihat pada struktur hubungan antara berbagai lembaga atau institusi pembentuk sistem politik. Hubungan antara berbagai lembaga negara sebagai pusat kekuatan politik misalnya merupakan satu aspek, sedangkan peranan partai politik dan kelompok-kelompok penekan merupakan bagian lain dari suatu sistem politik. Pelaksanaan kegiatan politik di Indonesia berdasarkan pada sistem demokrasi yang memberikan kebebasan bagi warganya untuk menyampaikan pendapat dan ikut serta dalam kegiatan politik di pemerintahan melalui lembaga atau oraganisasi penyalur aspirasi rakyat, seperti partai politik.


Politik di Indonesia semakin menarik jika kita melihat ikut sertanya berbagai kalangan pengusaha dan pemodal dalam kancah politik aktif maupun pasif. Aktif disini berarti bahwa mereka, pengusaha-pengusaha tersebut ikut serta dan berperan aktif menunjukkan diri dan eksistensi mereka dalam politik di pemerintahan ataupun dalam kegiatan lain partai politik baik secara pribadi maupun bantuan finansial langsung yang mereka berikan kepada partai. Sedangkan mereka yang pasif disini, adalah mereka yang memberikan bantuan berupa modal atau keuangan yang mendukung kegiatan partai politik yang mereka dukung namun tidak terlalu menunjukkan diri di dalam kegiatan politik partai di pemerintahan.

Belum terlalu dipahami apa yang menjadi motif para pengusaha yang ikut membantu keuangan partai. Namun kenyataannya bahwa alasan mereka adalah demi kepentingan pribadi dan kelancaran usaha yang mereka jalani. Dengan harapan bahwa secara langsung maupun tidak langsung partai-partai politik dan orang-orang yang diusung di pemerintahan akan membantu kelancaran usaha mereka yaitu para pengusaha tersebut dengan kekuasaan dan pengaruh yang mereka miliki. Sehingga akan mendatangkan keuntungan bagi kedua belah pihak. Di satu sisi para partai politik tersebut akan mendapatkan bantuan keuangan atau finansial bagi pelaksanaan kegiatan politik terutama kampanye dan kelangsungan organisasi partai politik tersebut. Di sisi lain para pengusaha mendapat keuntungan dari kebijakan-kebijakan yang mendukung usaha mereka serta koneksi ke pengusaha lain dan pemerintah yang tentunya dapat juga menjadi keuntungan finansial bagi para pengusaha tersebut.

Sebagai contoh hal tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut. Sebut saja seseorang bernama Kartono. Dalam benaknya tidak pernah terlintas jadi pejabat politik. Satu-satunya obsesi hidup Kartono selepas bangku kuliah adalah jadi pengusaha di kampungnya. Bertahun-tahun bergelut usaha mimpi Kartono jadi kenyataan. Kini Kartono jadi pengusaha kelas atas. Tidak hanya relasi bisnis yang meningkat, relasi politik pun bertambah. Partai politik (parpol) kesohor yang kembang-kempis dananya menawarkan jabatan empuk untuk Kartono. Keinginan politik Kartono pun muncul. Dia berhasrat menyandingkan ekonomi dan politik, uang dan kekuasaan. Terbayang di kepalanya bila kedudukan politik berhasil direngkuh maka kedudukan ekonomi pun bertambah kuat. Kartono bernasib mujur, dalam pemilihan kepala daerah Kartono keluar sebagai pemenang. Yang menjadi pertanyaan, apakah kehadiran Kartono menjadi pejabat politik bermanfaat atau justru malapetaka bagi rakyat di daerahnya.

Ilustrasi di atas sekadar menyuguhkan fenomena bahwa pengusaha jadi penguasa tak terhindarkan dalam demokrasi. Pasalnya, demokrasi sendiri merupakan sistem politik yang mahal. Tiap kali pemilu digelar pemerintah menggelontorkan trilyunan rupiah uang negara. Belum lagi milyaran rupiah tersedot dalam tiap pelaksanaan pilkada. Selain pemilu, demokrasi membutuhkan partai politik, agar fungsinya berjalan baik partai juga membutuhkan biaya besar. Ironisnya, secara finansial partai-partai saat ini belum terlalu mandiri. Iuran anggota partai masih minim jumlahnya. Di samping bantuan pemerintah, keuangan partai banyak mengandalkan dana pihak donatur. Selain motif pribadi, minimnya keuangan partai turut memicu oknum-oknum parpol melakukan praktik korupsi. Realitas seperti ini melapangkan jalan bagi pengusaha/pemodal menduduki jabatan-jabatan politik penting seperti, eksekutif pusat/daerah, legislatif (DPR/DPRD) dan petinggi partai. Di tingkat lokal elit politik sekaligus pengusaha tak terhitung jumlahnya.

Keterlibatan pengusaha jadi elit politik kadang menimbulkan dilema bagi demokrasi. Bila pengusaha terjun ke dunia politik dengan mengerahkan sumber daya yang dimiliknya demi kemakmuran rakyat boleh jadi berkah bagi demokrasi. Tetapi kebanyakan motif utama pengusaha berkecimpung di politik adalah ekonomi. Mereka bergumul politik untuk memperkuat jaringan bisnis atau meminimalisir kerugian usaha yang mungkin terjadi.

Mereka cenderung meminta balas jasa atas dukungan finansial yang mereka berikan. Ada yang bertipe tidak meminta jabatan politik tapi hanya menuntut kebijakan pemerintah berpihak pada kepentingan bisnis mereka. Ada pula tipe menuntut jabatan politik tertentu. Bila pengusaha jadi pejabat politik dan mengelola kekuasaan demi kepentingan kelompok dan dirinya sendiri maka musibah bagi demokrasi. Meski demokrasi menekankan prinsip persamaan dan kebebasan dalam kenyataan di masyarakat terdapat kelompok dominan yang lebih berpengaruh dibanding kelompok lain. Kaum bangsawan adalah kelompok dominan dalam negara tradisional (kerajaan). Sedangkan pada negara modern di mana sistem perekonomiannya cenderung bercorak kapitalistik pengusaha jadi kelompok dominan. Dalam masyarakat campuran (tradisional menuju modern) kerap dijumpai pada paras lokal bangsawan sekaligus pengusaha jadi kelompok dominan.

Dalam realitas demokrasi memang kebijakan pemerintah tidak semata-mata ditentukan kelompok dominan melainkan dipengaruhi beragam kepentingan seperti: media, lembaga swadaya masyarakat, parpol dan kelompok kepentingan termasuk pengusaha. Artinya, kebijakan yang diputuskan pemerintah merupakan hasil interaksi politik dari berbagai kelompok kepentingan itu. Namun acapkali dalam interaksi politik seperti itu kelompok pengusaha atau elit politik sekaligus pengusaha lebih menentukan hasil akhir kebijakan pemerintah.

Kecenderungan kelompok pengusaha jadi kelompok dominan karena partai maupun pemerintah sama-sama menghadapi masalah struktural yakni keterbatasan modal. Problem keuangan di internal parpol menempatkan pengusaha jadi elit dalam sistem kepartaian. Konsekuensinya, kebijakan partai dikompromikan dengan kepentingan pengusaha. Demokratisasi di tubuh partai mengurangi kepentingan pengusaha yang berkolaborasi dengan elit partai. Dengan kekuatan ekonominya ada kalanya pengusaha memiliki jaringan politik yang lebih luas dibanding aktifis partai. Kondisi ini membuat pengusaha lebih leluasa memainkan isu dalam rangka mengarahkan kebijakan pemerintah.

Kendala pemerintah setali tiga uang. Untuk menjalankan roda pemerintahan dan membiayai pembangunan membutuhkan dana besar. Dari berbagai sumber pendapatan pemerintah sektor pajak merupakan kontributor terbesar. Penyumbang pajak terbesar berasal dari kalangan swasta yaitu pengusaha dan kaum profesional. Bila kelompok pengusaha kurang dilayani ada kemungkinan pendapatan pemerintah akan berkurang.

Jika penerimaan pemerintah berkurang maka roda pemerintahan jadi lamban dan program pembangunan jadi tersendat. Pemerintah memang memberikan pelayanan kepada masyarakat umum. Tetapi pemerintah cenderung memprioritaskan layanan kepada kelompok pengusaha. Dengan melayani kelompok pengusaha pemerintah berharap sumber penerimaan pemerintah tidak terganggu sehingga pemerintahan dan pembangunan berjalan lancar. Kendala struktural ini menyebabkan kelompok pengusaha berada pada posisi dominan dalam masyarakat.

Pemilu sebagai sarana demokrasi memang memberikan kesempatan bagi rakyat untuk mengganti pejabat politik secara reguler. Tetapi yang terjadi sesungguhnya hanyalah sirkulasi elit politik. Elit yang satu diganti elit yang lain. Hubungan kekuasaan antara elit politik dan rakyat tidak banyak berubah. Bahkan pejabat eksekutif di pusat dan daerah yang terpilih secara langsung pun ternyata cenderung melayani kepentingan kelompok tertentu. Demokrasi yang didengung-dengungkan jadi ideologi yang berfungsi memperhalus dominasi kelompok tertentu dalam masyarakat.

Bahkan di era demokrasi ini, para koruptor pun semakin banyak. Korupsi di Indonesia telah membuat seorang pejabat memiliki kekayaan yang melebihi pendapatan resmi dari jabatannya. Ini menunjukkan bahwa “kursi” yang diperjuangkan secara habis-habisan bukan untuk kepentingan rakyat, meskipun dalam pidato kampanye berbusa-busa selalu atas nama rakyat. Dulu, mungkin, seorang koruptor akan malu-malu menunjukkan hasil korupsinya kepada khalayak, sehingga lebih senang tersimpan dalam bentuk deposito bank. Kini semua tampak transparan dan terang-terangan (dalam arti negatif), para petinggi negara sampai ke tingkat jabatan pelaksana, dengan istilah “berjamaah”, sama-sama menjarah kekayaan negara yang notaben nya berasal dari pajak rakyat.

Sebuah contoh menarik. Pernah ada seorang tentara dengan pangkat di bawah perwira. Suatu hari rumahnya kecurian. Ketika melapor kepada polisi, disebutkan barang-barang yang hilang meliputi benda-benda dengan harga mahal, termasuk sebuah mobil yang tak akan sanggup dibeli dengan gajinya selama bertahun-tahun. Boleh jadi harta itu merupakan hibah dari orang tuanya yang kaya raya. Contoh lain, seorang jaksa mampu menjadi anggota klub golf dan beberapa kali main golf di luar negeri. Kita yang awam saja bisa menghitung, berapa harga satu set alat golf dengan kualitas terbaik, berapa iuran menjadi anggota sebuah klub golf, berapa biaya bertandang main ke mancanegara. Mengapa kita seperti orang yang tidak rasional ketika menghadapi kenyataan yang tak perlu disangsikan ini.

Dari yang sederhana dibuat pelik, dari yang jelas dibuat kabur, dari yang mudah dibuat sulit; hal itu terjadi berulang-ulang dan tak tuntas; telah membuat rakyat kian tidak percaya. Keruntuhan kepercayaan itu mula-mula kecil saja, namun lambat-laun serupa bola salju karena keadilan yang ditunggu-tunggu tak kunjung sampai. Justru kenyataan akhir-akhir ini membuktikan bahwa para penegak hukum, wakil Tuhan di Bumi dalam urusan sebagai penegak keadilan, juga bermain uang.

Orang-orang dengan pribadi tersebut yang banyak berkecimpung di politik tentu saja akan menimbulkan ketidakpercayaan dari rakyat. Sehingga ketika pelaksanaan pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah memunculkan fenomena golput (golongan putih) yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pesta demokrasi tersebut. Selain mosi tidak percaya, maraknya partai politik tidak hanya memecah-belah suara yang semula solid, namun juga membingungkan rakyat. Aspirasi mereka tidak lagi bulat ditampung oleh satu partai politik, melainkan tercabik di sana-sini. Hal ini terjadi karena sejarah pembentukan partai merupakan akibat terpecahnya suara internal, ketidakcocokan pendapat para pendiri atau pelaksana puncak organisasi politik.

Apabila tokoh panutan keluar dan membentuk partai baru, pengikutnya pun akan berubah haluan. Kalau kemudian partai baru ini ingin unjuk diri dengan perbedaan visi (separuh dari visi semula), para pengikutnya mungkin mulai dihinggapi perasaan bingung. Finalnya, andaikata ketahuan bahwa yang dicita-citakan adalah pundi-pundi uang saat meraih kursi wakil rakyat, lunturlah sudah simpati dan kepercayaan pendukung terhadap konstituennya. Golput bagi mereka yang meyakininya mungkin sebuah jalan tengah. Persoalannya, protes yang tidak memberikan pencerahan kepada rakyat akan menambah jumlah masalah dalam roda pemerintahan. Sebab, biasanya, akan ada pihak yang mengambil keuntungan dengan manipulasi suara. Golput akan mengaburkan jumlah penghitungan suara dalam pemilu legislatif. Jadi, untuk menjadi golput pun perlu pertimbangan matang.

Meskipun semakin banyak masyarakat yang golput dan terjadinya krisis ekonomi global, tak mengurangi minat para pengusaha untuk terjun langsung ke dunia politik. Makin banyak pengusaha yang ikut dalam pilkada dan pemilu legislatif tahun depan. Hal itu tidak akan bias dicegah karena para pengusaha tersebut adalah warga Negara Indonesia yang juga memiliki hak dalam demokrasi. Namun apapun itu, diharapkan bahwa para pengusaha tersebut tidak hanya mementingkan kepentingan pribadi dan golongan tetapi mengutamakan kepentingan rakyat dalam usaha untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara merata dan meningkatkan kekuatan dan kestabilan ekonomi bangsa, tidak hanya kepentingan ekonomi pribadi.

Disusun dari beberapa sumber internet.

You Might Also Like

0 comments